Oleh: Salsabila Adhwa Nasution (Mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia)
JeJak Media – Perdagangan internasional telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pemenuhan kebutuhan domestik suatu negara, termasuk dalam sektor peternakan. Indonesia sebagai negara dengan kebutuhan daging sapi yang terus meningkat, mengandalkan impor sapi untuk menutupi kesenjangan antara permintaan dan pasokan domestik.
Pada tahun 2024, pemerintah telah menganalisis tingkat konsumsi daging sapi per kapita sebesar 2,57 kg per tahun dengan total populasi penduduk sebanyak 279.965.000 jiwa.
Berdasarkan analisis tersebut, kebutuhan nasional akan daging sapi diproyeksikan mencapai 720.375 ton. Sementara itu, data hasil sensus populasi ternak pada tahun 2023 mencatat terdapat 11,3 juta ekor sapi dan 470,9 ribu ekor kerbau. Dengan mempertimbangkan jumlah dan struktur populasi ternak yang mencakup kategori anak, muda, dan dewasa, produksi sapi dan kerbau lokal diestimasikan mencapai 281.640 ton atau setara dengan 39,1% dari total kebutuhan konsumsi nasional.
Dalam praktik impor, terdapat tantangan signifikan terkait kesehatan dan keamanan pangan. Dalam konteks ini, karantina hewan dan kepabeanan memegang peranan krusial sebagai penjaga pintu masuk untuk memastikan sapi impor memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan.
Karantina hewan merupakan langkah wajib dalam proses pemasukan sapi impor ke Indonesia. Sistem ini dirancang untuk memastikan bahwa hewan yang masuk bebas dari penyakit menular berbahaya yang dapat mengancam kesehatan hewan lokal maupun manusia.
Proses karantina melibatkan berbagai tahap pemeriksaan, mulai dari verifikasi dokumen kesehatan dari negara asal hingga pengujian laboratorium untuk mendeteksi adanya bakteri atau virus tertentu.
Salah satu penyakit yang sering menjadi perhatian adalah penyakit mulut dan kuku yang dapat menyebar dengan cepat. Dengan mematuhi standar internasional, Indonesia berusaha melindungi populasi hewan domestiknya dari ancaman epidemi yang bersumber dari luar negeri.
Namun, implementasi sistem karantina hewan di Indonesia tidak luput dari berbagai tantangan. Salah satu masalah yang sering dihadapi adalah keterbatasan infrastruktur di pelabuhan-pelabuhan utama yang menjadi pintu masuk impor.
Fasilitas karantina yang tidak memadai, seperti kurangnya laboratorium modern atau tempat penampungan hewan yang layak, dapat menghambat efektivitas pemeriksaan. Selain itu, jumlah tenaga ahli di bidang karantina hewan juga masih terbatas. Akibatnya, pemeriksaan terhadap sapi impor seringkali tidak dapat dilakukan secara optimal. Hal tersebut dapat meningkatkan risiko masuknya penyakit dari hewan ke Indonesia.
Tantangan lain yang tidak kalh penting adalah praktik penyelundupan sapi illegal yang sering kali melibatkan penghindaran prosedur karantina. Sapi yang masuk tanpa melalui jalur resmi tidak mengalami pemeriksaan kesehatan yang memadai sehingga berpotensi membawa penyakit menular. Hal ini menjadi ancaman serius bagi kesehatan hewan lokal dan dapat memicu kerugian ekonomi yang besar. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan koordinasi yang lebih baik antara otoritas karantina hewan dan kepabeanan dalam mengawasi arus masuk sapi impor.
Kepabeanan memiliki peran strategis dalam mendukung sistem karantina hewan. Sebagai otoritas yang bertanggung jawab atas pengawasan barang yang masuk ke wilayah Indonesia, bea cukai memastikan bahwa semua sapi impor dilengkapi dengan dokumen yang sah dan memenuhi persyaratan kesehatan.
Dalam hal ini, salah satu dokumen yang harus terpenuhi yaitu Certificate of Analysis (COA). COA adalah sertifikasi yang memberikan hasil analisis mengenai pengendalian mutu suatu produk atau barang. Sertifikat ini diperlukan untuk produk-produk yang memerlukan control ketat, seperti barang kimia, makanan, Kesehatan, dan produk lain yang terkait. Selain COA, terdapat dokumen lain yang sering diperlukan dalam impor barang tertentu, yaitu Certificate of Quarantine yang diperlukan untuk produk seperti tumbuhan, hewan, dan buah-buahan untuk memastikan tidak ada kontaminasi atau penyakit.
Kepabeanan berperan dalam mencegah upaya manipulasi dokumen atau penyelundupan hewan yang dapat merusak integritas sistem pengawasan. Dengan adanya kerja sama yang era tantara kepabeanan dan karantina hewan, pengawasan terhadap sapi impor dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.
Kolaborasi antara karantina hewan dan kepabeanan menjadi semakin penting di era globalisasi, di mana arus perdagangan berlangsung dengan cepat dan kompleks. Integrasi sistem data antara kedua lembaga ini dapat membantu mempercepat proses pemeriksaan, mengurangi potensi penumpukan hewan di Pelabuhan, dan meningkatkan deteksi dini terhadap pelanggaran. Selain itu, penguatan regulasi dan penegakan hukum juga menjadi langkah penting dalam mengatasi berbagai celah yang dimanfaatkan oleh pelaku penyelundupan. Dengan demikian, kedua lembaga ini dapat berfungsi sebagai benteng yang kokoh dalam melindungi Kesehatan hewan dan masyarakat.
Pengawasan yang ketat terhadap sapi impor membawa banyak manfaat bagi Indonesia. Pertama, hal ini melindungi populasi hewan lokal dari ancaman penyakit yang dapat menurunkan produktivitas dan menyebabkan kerugian besar bagi peternak. Kedua, pengawasan yang baik menjamin keamanan pangan bagi konsumen karena daging yang berasal dari hewan yang sehat lebih aman untuk dikonsumsi. Ketiga, penerapan standar kesehatan yang tinggi menunjukkan komitmen Indonesia terhadap regulasi internasional yang dapat meningkatkan reputasi negara dalam perdagangan global. Dengan menjaga kepercayaan pasar internasional, Indonesia juga berpeluang memperluas ekspor produk peternakan di masa depan.
Walaupun demikian, upaya untuk memperkuat pengawasan terhadap sapi impor membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang memadai untuk meningkatkan fasilitas karantina di Pelabuhan utama, termasuk menyediakan laboratorium yang dilengkapi dengan teknologi terkini. Selain itu, pelatihan bagi petugas karantina dan kepabeanan juga harus dilakukan secara rutin untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam menghadapi tantangan baru di sektor peternakan. Di sisi lain, pelaku usaha juga diharapkan berperan aktif dalam mematuhi regulasi yang berlaku sehingga proses impor dapat berjalan secara transparan dan akuntabel.
Pemanfaatan teknologi juga menjadi kunci dalam meningkatkan efektivitas pengawasan sapi impor. Sistem digital yang mengintegrasikan data antara karantina hewan dan kepabeanan dapat mempermudah verifikasi dokumen, mendeteksi anomali, dan melacak pergerakan hewan selama proses impor. Dengan adanya teknologi ini, pengawasan dapat dilakukan secara lebih cepat dan akurat, tanpa mengurangi tingkat keamanan.
Keseluruhan upaya ini bertujuan untuk menciptakan sistem pengawasan yang kokoh sehingga impor sapi dapat dilakukan tanpa mengorbankan kesehatan hewan lokal maupun masyarakat. Dalam jangka panjang, penguatan karantina hewan dan kepabeanan akan memberikan dampak positif bagi keberlanjutan sektor peternakan Indonesia. Selain melindungi populasi hewan dari ancaman penyakit, langkah ini juga memastikan bahwa kebutuhan daging sapi masyarakat terpenuhi secara aman dan berkualitas. Dengan demikian, karantina hewan dan kepabeanan tidak hanya menjadi penjaga pintu masuk sapi impor, tetapi juga pilar penting dalam menjaga kesehatan dan kesejahteraan bangsa.











