Pacu Jawi di Sungai Tarab Sawah Jadi Panggung Dunia, Lumpur Jadi Souvenir Wisatawan

Editor : Hari Styn

Tanah Datar ( JMG ) Sabtu (13/9/2025), Sawah Bondo Tangah, Jorong Koto Hiliang, Nagari Sungai Tarab, mendadak bertransformasi jadi arena spektakuler. Ribuan pasang mata tertuju ke tengah sawah yang baru dipanen, ketika tradisi pacu jawi—ikon Minangkabau yang hanya ada di Luhak Nan Tuo—kembali menggelegar di minggu keempat. Suara sorak warga berpadu dengan teriakan joki dan dentuman kaki sapi, membentuk irama alam yang membuat siapa pun merinding.

Lebih dari sekadar balap sapi iseng, pacu jawi adalah ungkapan syukur masyarakat Minangkabau pasca panen. Sawah yang basah lumpur menjadi simbol rezeki yang telah dituai. “Ini cara kami merayakan panen, bentuk rasa syukur pada Allah,” ujar Indra Gunawan (43), tokoh pemuda Koto Hiliang, penuh semangat.

Tak hanya jadi syukuran, pacu jawi juga berfungsi sebagai ajang “showroom” alami bagi para peternak. Sapi yang mampu berlari stabil dan meluncur lurus di lumpur, otomatis naik pamor sekaligus nilai jual. “Kalau di kota mobil yang unjuk performa, di sini sapi juga punya panggung,” kelakar seorang panitia, wajahnya penuh cipratan lumpur.

Daya tarik pacu jawi sudah mendunia. Dari tepi sawah, tampak wisatawan mancanegara larut dalam euforia. Steven (44) asal Australia mengaku terpesona: “Unbelievable! This is raw and powerful—like nothing I’ve ever seen.” Sementara Iginio (45) dari Italia membandingkan dengan festival di Eropa: “Energinya berbeda. Ini seni sekaligus olahraga!”

Peran pemandu wisata pun kian vital. Fajrul (24) dan Alinia Prisha (36) dari @taxee kampus Padang menyebut pengunjung asing ingin merasakan langsung denyut tradisi. “Mereka tidak sekadar melihat sapi, tapi menyentuh budaya. Paket lengkap: alam, tradisi, dan adrenalin. Lumpur di celana jadi souvenir gratis,” kata Alinia sambil tertawa.

Ketua Alek Pacu Jawi Nagari Sungai Tarab, Mandrizal Kht. Putiah, menegaskan pacu jawi kini jadi magnet wisata kelas dunia. “Kami ingin pacu jawi setara pamornya dengan pacu jalur di Kuantan Singingi. Wisatawan asing sudah mulai menandai kalender tiap musim panen,” ujarnya optimis.

Namun, Mandrizal mengingatkan soal infrastruktur. “Harapan kami, pemerintah memperbaiki akses jalan ke lokasi Sawah Bondo Tangah. Saat ini kendaraan roda dua maupun roda empat tidak bisa masuk. Wisatawan sih senang tantangan, tapi pariwisata butuh kenyamanan,” sindirnya, menyelipkan pesan serius di balik tawa.

Dampak ekonominya pun nyata. Sejak pagi, pedagang kopi, gorengan, hingga cendera mata kebanjiran rezeki. “Alhamdulillah, omzet naik drastis tiap alek digelar,” ujar Ilham (37), pedagang nasi ampera yang bahkan tak sempat mengangkat telepon karena sibuk melayani pembeli.

Lebih dari tontonan, pacu jawi memantulkan filosofi Minangkabau: “alam takambang jadi guru”. Joki belajar sabar mengendalikan sapi, penonton rela basah demi atmosfer, sementara hewan dan alam menyatu dalam harmoni.

Ketika matahari sore menebar cahaya keemasan di atas sawah berlumpur, satu hal terasa pasti: pacu jawi bukan sekadar warisan, tapi kebanggaan yang menolak punah, menempatkan Tanah Datar gagah di peta wisata budaya dunia.

( Ranny )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *